Si Moralis Yang Kalap (Sebuah Renungan Pribadi)

Abu yang menutupi jalanan kota Jogja membuat saya mengurung diri di kamar kos sendirian. Mau keluar untuk membeli makan saja malas. Sehingga terpaksa saya makan dan minum seadanya: ya mi instan, permen, kopi, juga rokok yang tinggal sebatang. Sebagai hiburan saya coba nyetel tivi yang acaranya sudah bisa di tebak: ya berita soal gunung Kelud meletus, ya kemeriahan soal hari yang katanya hari kasih sayang, juga berita-berita soal artis-artis yang terlibat kasus. Bicara soal berita, ada berita yang cukup menggelitik telapak tangan saya sehingga terasa geli lalu membuat saya tertawa sendiri: yakni, berita soal video tentang seorang ahli moral / moralis / ustadz (selanjutnya saya akan lebih banyak menyebut dengan istilah moralis) yang katanya sedang khilaf, sehingga melupakan kata-kata yang pernah dilontarkannya ketika berkhutbah, menyampaikan pesan-pesan moral di depan jamaahnya.
Adegannya lucu, si moralis yang sedang duduk di singgasananya memaki-maki seseorang yang berada di bawah panggung (menurut berita, ia adalah soundman pada acara tersebut) karena sebuah kesalah teknis. Si moralis makin kalap, amarahnya tak tertahan. Jika biasanya si moralis menyampaikan kepada jamaahnya agar jangan menyembah kepada selain tuhan yang Esa (Allah), pada saat itu (barangkali ia sudah merasa menjadi tuhan) ia menyuruh si soundman untuk mencium kaki kanannya, sambil lalu mulutnya, yang biasanya digunakan untuk melantunkan ayat suci Al-Quran, terus memaki-maki si soundman. Tentu saja si soundman menolak untuk mencium kaki si moralis karena ia punya keyakinan kalau mencium kaki orang itu, seperti yang pernah disampaikan si moralis, sama halnya dengan bentuk penyembahan, dan ia hanya punya satu keyakinan, hanya tuhan yang Esa yang layak untuk disembah.
Biarpun ia cuma jadi soundman pada acara itu, ia masih menjaga keimanannya. Namun, perintah si moralis kepada si soundman agar mencium kaki kanannya membuat si soundman terdesak. Si soundman kebingungan, sampai-sampai ia tak lagi bisa membedakan apakah yang sedang duduk di singgasana dengan jubah dan sorban putih itu adalah manusia ataukah suatu penjelmaan tuhan. Akhirnya diturutinya juga perintah yang terdengar seperti fatwa atau bahkan wahyu itu. Tentu dalam keadaan bingung. Kemarahan si moralis semakin menguap. Ia lupakan semua kata-kata yang pernah dilontarkannya baik di mimbar-mimbar ataupun di layar televisi, semisal: “tuhan itu maha pengampun”, “marah itu sifatnya setan”, dan lain-lain. Ketika hidung si soundman menyentuh jari-jari kaki si moralis yang mungkin agak berbau busuk itu, dengkul kaki kiri si moralis melakukan gerakan mengunci dengan cara menindihkan lutut kirinya, konon ini adalah gerakan seni pencak silat daerah yang pernah dipelajari oleh si moralis, ke kepala si soundman. Yang ditindih tentu menggap-menggap karena bau busuk kaki si moralis makin nyata di hidungnya. Untung saja, kejadian itu segera dilerai oleh salah seorang kawan si moralis yang sadar kalau perbuatan itu telah melanggar nilai-nilai agama yang selalu mereka syiarkan, dan perbuatan itu adalah bagian dosa besar karena telah menggugurkan keimanan seseorang yang hanya percaya kalau yang layak disembah hanya tuhan yang Esa. Emmm… tak ubahnya perbuatan setan yang selalu dikutuknya.
Video amatir yang diunggah oleh si fulan di Youtube itu berakhir. Seperti biasanya, berita seleberiti itu memuat juga komentar-komentar atas kejadian tersebut dari berbagai sudut pandang. Seorang temannya bilang sembari membela sekaligus menyayangkan kejadian tersebut: ”yah… namanya manusia itu tempatnya salah… dan ustadz itu juga masih manusia…”. Ada juga yang lebih ekstrim dengan ucapan yang lebih berterus terang kalau itu perbuatan yang tak terpuji sekaligus tercela. Lalu, macam-macam komentar yang lain, termasuk pernyataan si moralis yang katanya sudah berdamai dengan si soundman, dan menganggap perkara itu selesai. Tapi sekarang, tentu tak selesai begitu saja, karena video amatir itu sudah terlanjur ditonton oleh publik, termasuk saya.

Kata Ibu: “Jadilah seorang Ustadz Nak..”
Saya dilahirkan di keluarga yang bisa dibilang cukup religius. Kedua orang tua saya adalah pemeluk agama yang teguh sehingga tak mengherankan bila beliau menyuruhku memperlajari ilmu agama di Langgar tetangga, di sebuah sekolah diniyah, Madrasah Ibtidaiyah, hingga mengirimku ke pasantren di Jawa (saya lahir di sebuah pulau kecil utara pulau Jawa). Kedua orang tua saya pada waktu itu berharap anaknya kelak jadi ustadz.
Waktu kecil saya cukup sering datang ke acara-acara pengajian mendengarkan kalimat-kalimat yang konon dapat mencerahkan hati itu. Suara lembut yang keluar dari bibir si penceramah ketika membacakan ayat-ayat suci dan mengabarkan indahnya sorga membuat hidup ini terasa sangat tentram. Begitu juga sebaliknya ketika dengan lantang si ustadz mengabarkan pedihnya siksa neraka saya begidig ketakutan, seolah-olah tak mau lagi berbuat dosa.
Waktu itu saya senang sekali mendengar ceramah seorang ustadz dari kampung tetangga yang sesekali menyelipkan humor-humor yang membuat seluruh penonton tertawa dan memuji-muji kepiawaiannya dalam berceramah. Beberapa jamaah berebutan menyalami dan mencium tangan si ustadz itu. Tentu bukan hanya salaman kosong, tak sedikit yang menyisipkan amplop berisi uang yang saya tak tahu berapa nilainya.
Hal itu membuat saya tartarik untuk menjadi ustadz, tinggal berceramah, disukai banyak orang, dapat uang pula dan kalau ada undangan selamatan, peringatan maulid nabi, pernikahan, acara-acara peresmian, seorang ustadz selalu duduk terdepan, memimpin doa yang diamini oleh banyak orang. Betapa mulianya.
Lalu saya masuk pesantren. Di sana saya belajar banyak ilmu agama, bergaul dengan orang-orang yang pintar-pintar mengenai ilmu agama. Banyak juga saya temui orang-orang yang pandai berpidato seperti seorang ustadz kondang di kampung tetangga. Saya pun mulai belajar teknik berpidato dari buku-buku kumpulan pidato yang dijual di koperasi pondok pesantren, sembari menghafalkan dalil-dalil pendukung dari Al-Quran dan Hadits. Tak lupa pula mencoba menyisipkan humor agar ceramah agama yang saya sampaikan nanti tidak terlalu monoton sehingga membuat pendengarnya mengantuk. Pada tahap ini saya kira agak mudah untuk saya lakukan, apa susahnya memberi nasehat pada orang lain sambil lalu mengaitkan dengan ayat-ayat Al-Quran maupun Hadits.
Supaya saya bisa menyampaikan ceramah dengan lebih mantap, saya bergabung dengan salah satu komunitas Da’i yang ada di pesantren saya. Di situ kami berbagi metode berceramah yang baik: kepandaian dalam mengatur intonasi suara sangat penting dalam berceramah bahkan sejak mengucapkan salam. Ingat, sebuah ceramah bakal membosankan atau tidak itu bisa dilihat dari cara ia menyampaikan salam. Agar jamaah lebih memperhatikan si penceramah, biasanya si penceramah akan mengulang salamnya hingga tiga kali. Jangan lupa menyisipkan pantun agar suasana menjadi agak ‘basah’, atau bisa juga menyelipkan lagu-lagu hits masa kini. Penampilan haruslah yang meyakinkan, karena Islam turun di Arab maka wajar bila banyak tersisip budaya Arab di dalamnya: gunakan jubah, kalungkan sorban di leher atau ikatkan ia di kepala. Upayakan semuanya berwarna putih, sebab ia menyimbolkan kesucian.
Semua teknik-teknik di atas telah saya dan teman-teman saya pelajari. Sesekali saya tampil berceramah baik di depan teman-teman saya sendiri, maupun di depan masyarakat kampung saya: meyampaikan pesan-pesan moral yang bersumber dari Al-Quran dan Al-Hadits. Tepuk tangan dari penonton juga tak begitu mengecewakan, sehabis berceramah saya mendapat panggilan baru: ustadz. Hmmm… begitu mudahnya mendapat sebutan itu. Hanya karena menyampaikan pesan-pesan moral yang sebetulnya bisa dibaca di buku-buku pidato yang biasanya juga ada di toko buku dari yang besar hingga yang paling kecil, saya mendapat sebutan baru: ustadz. Tanpa pernah mereka tahu tentang kelakuan sehari-hari saya, tanpa pernah mereka tahu (mungkin sebagian tahu) kalau apa yang saya sampaikan hanyalah proses copy-paste dari ceramah-ceramah sebelumnya, tanpa pernah mereka tahu kalau saya sebetulnya tidak betul-betul mengerti dengan apa yang saya sampaikan (meskipun seolah-olah bertindak paling ngerti karena disampaikan bersama dalilnya). Tak jarang, saya dan juga teman-teman saya terkekeh-kekeh setelah berceramah karena telah menyampaikan sesuatu yang sebetulnya tak pernah betul-betul kami terapkan, alias omong doang.

Akhirnya, “Aku tak mau jadi ustadz Mak…”
Saat ini, seringkali saya senyum-senyum sendiri ketika saya menonton ceramah-ceramah dari ustadz atau ustadzah kondang di beberapa channel televisi. Bukan maksud berburuk sangka pada dai-dai yang tak kalah kondang dengan artis sinetron itu. Saya hanya menertawakan pengalaman saya dan teman-teman saya ketika masih di pesantren dulu, ketika berlatih menjadi penceramah ulung, dengan harapan kelak menjadi dai kondang seperti mereka-mereka yang sudah legendaris itu. Saya hanya berpikir: opo iyo? Jangan-jangan kayak saya dulu.
Mungkin bisa dibilang saya termasuk salah satu santri yang mbeling, atau apalah istilahnya. Calon ustadz yang gagal karena ke-mbeling-annya. Sebab, setelah bertahun-tahun saya mengenyam pendidikan di pesantren, keinginan saya untuk menjadi seorang ustadz (dalam hal ini ustadz yang suka berceramah) kian luntur. Aku justru tak mau lagi menyampaikan pesan-pesan moral yang sebetulnya aku tak begitu mengerti itu. Sebuah keputusan yang mungkin agak mengecewakan bagi kedua orang tua saya. Tapi tak apa. Menurut saya keputusan tersebut adalah lebih baik daripada saya menjadi penyampai pesan moral yang suatu saat bisa menyerang diri saya sendiri. Lebih baik saya menyampaikan kejujuran, tanpa ditutup-tutupi jubah putih yang konon perlambang kesucian. Toh, jujur itu merupakan salah satu sifat kenabian.
Lalu, apa maksud tulisan yang tak penting ini? Ah, tak ada maksud macam-macam. Hanya saja… ketika menonton berita di televisi yang menayangkan perilaku tak terpuji salah satu dai yang kondang sejak acara perlombaan DAI nasional yang diadakan salah satu stasiun televisi beberapa tahun lalu, saya jadi berpikir: ternyata masih ada dai-dai mbeling seperti saya dan teman-teman saya dulu. Bisa jadi ia memang sedang khilaf, bisa jadi juga kekondangannya telah membuat ia lupa diri. Merasa menjadi orang suci karena telah memakai jubah putih. Merasa dirinya tuhan sehingga kakinya layak dicium orang. Naudzubillah….

Yogyakarta, 14 Pebruari 2014

Suatu Malam Aku Terlelan Sebotol Bir

Hujan di balik jendela membanjiri mata. Sebuah bayangan pada cermin gantung mengintai setiap gerak-gerik mata, tangan, dan kakiku. Sepasang mata pada sebotol bir yang baru saja kubeli di sebuah toko swalayan 24 jam bersitatap dengan mataku.

 “Aku hanya sendiri dalam gua pertapaanku seperti ulat dalam kepompong dan tak pernah menjadi kupu-kupu. Lalu, sambil sepasang matanya terus menatap mataku, botol bir itu membuka moncongnya. Separuh isi menjadi busa. Separuh busa menjadi air. Pelan tapi pasti, sebotol bir itu mendekat, moncongnya menyentuh moncongku. Kami pun berasyik manyuk ke dalam ciuman yang dalam. Air liur kami bertemu menjadi satu ramuan khusus, tak lagi dalam wujud air liur. Ramuan itu masuk ke dalam tubuhku, juga ke dalam tubuhnya, tubuh sebotol bir. Ramuan itu menciptakan energi tarik menarik. Botol bir itu menarik moncongku kuat-kuat. Aku pun demikian, aku tak mau kalah, aku menghisap moncongnya sekuat tenaga. Maka terjadilah tarik menarik yang membuat ciuman kami semakin kuat. Di luar perkiraan, tiba-tiba botol bir itu melebarkan moncongnya, menuntaskan ciuman yang sedang kami lakukan. Kini tak cuma bibirku yang bertemu dengan bibirnya. Separuh bagian kepalaku, termasuk otakku, kini berada di dalam separuh bagian kepalanya, mulutnya. Nafasku makin sesak akibat terhimpit beling kaca botol bir itu. Pelan tapi pasti kepalaku menyentuh isi botol bir yang tinggal separuh.Aku tersendak oleh cairan bir yang sudah becampur dengan air liurku sendiri. Aku susah bernafas dan secara sadar aku telah kehilangan separuh kesadaranku. Setelah separuh ketidak-sadaran itu pulih, aku baru sadar kalau kepompong yang menjadi gua pertapaanku kini semakin mengecil menjadi ruangan sempit yang menghimpit. Aku telah ditelan oleh sebotol bir separuh isi yang kubeli di sebuah toko swalayan 24 jam.”

 Hujan di balik jendela kian membanjiri mataku. Sementara siaran tivi kian mengikis daya imajinasi, separuh otakku pergi mencari-cari.

 Yogyakarta, 24 Januari 2014

Banyak orang yang enggan diibaratkan air di atas daun talas. Konon, ia berarti tak teguh pandirian. Kiri diangkat, lari ke kanan. Begitu sebaliknya. Bila dihempas, hilang sudah. Tapi aku suka jadi air di atas daun talas, tapi yang tak tumpah. Karena itu berarti, aku teguh. Walau dihempas, wujudku tetap utuh: air. Tak merembes, tak meresap. Begitulah, kawan. Bagaimana pun, ia lebih baik dari air di atas kapas. Yang merembes, kehilangan wujudnya.

Menyapa Pantai

Di pantai, memandang ombak yang bergulung-gulung, buih-buih yang berlompat-lompat girang, desir angin yang membawa resah kalut ku.